The Sixth Sense : Horor Tentang Anak Ber-Indera Keenam

Sukses Jelangkung membuka mata banyak produser Indonesia. Bahwa genre ini punya potensi pasar untuk bertumbuh. Buktinya memang, makin kesini makin banyak saja film horor yang diproduksi. Dan hampir selalu sukses di pasaran. Film “busuk” seperti Rumah Pondok Indah, Bangku Kosong atau Hantu Jeruk Purut bisa menggaet tak kurang dari 700 ribu penonton.

Sayangnya, film horor di negeri kita selalu identik dengan mutu rendah. Cerita asal – asalan, pemain yang berakting ala kadarnya hingga teknis yang seadanya melengkapi fenomena membanjirnya tema horor belakangan ini. Sebuah majalah mingguan bahkan menurunkan laporan khusus tentang fenomena ini, demi untuk mencaci maki genre film yang sempat melambungkan nama Suzanna ini.

Padahal horor pun bisa jadi tontonan menarik, bahkan bisa bersaing di kompetisi film bergengsi. Lihat saja Sixth Sense (1999) karya M Night Shyamalan. Beda dengan film horor Indonesia kebanyakan, film yang dibintangi Bruce Willis ini punya segudang aspek yang menjadikannya tontonan bermutu. Skenario orisinal nan cerdas garapan Shyamalan sendiri, akting trio tokoh utama yang brilian, sinematografi yang redup dan bernyawa hingga ilustrasi musik yang sempurna.

Shyamalan yang berdarah India menyajikan kisah yang jarang dieksplorasi perfilman Hollywood. Tentang seorang anak yang mempunyai indera keenam. “Kelebihan” yang tak jarang membuat si empunya ketakutan setengah mati. Apalagi bagi anak sekecil Cole (Haley Joel Osment, dengan penampilan menawan). “I see dead people, “ rintihnya pada Dr Crowe (Bruce Willis), psikiater yang membantunya menjalani hari – harinya yang pahit. Bagi anak seusianya dengan kemampuan yang dimilikinya, Cole memang tumbuh menjadi anak yang pemalu, pendiam dan dianggap aneh oleh teman – temannya. Ibunya sendiri (Toni Collette) pun tak dibaginya rahasia itu.

Namun ada saatnya Cole harus menghadapi akibat dari kemampuan yang dimilikinya, bukannya terus menerus menghindar. Maka ia pun mulai mencari tahu apa arti dari kehadiran makhluk gaib yang biasa dilihatnya pada saat malam. Dan berbeda dari kebanyakan hantu di film nasional, hantu di Sixth Sense muncul untuk sebuah alasan jelas : mereka memerlukan pertolongan dari yang hidup. Dan Cole pun harus menjalankan “tugas” itu.

Sebagai horor, Sixth Sense memenuhi khittah-nya. Namun ia pun tak melupakan kodratnya untuk menyajikan tontonan yang baik. Juga sebagai tontonan yang logis, yang teramat sering diabaikan dalam perfilman kita (tak hanya dalam genre horor). Shyamalan menuntun kita, memenuhi rasa ingin tahu kita akan kemunculan hantu – hantu itu (yang meski tak digambarkan semengerikan yang diperlihatkan dalam film kita, namun tak kurang membuat penonton terhenyak). Dan di akhir cerita, membuat twist yang luar biasa. Amat tak disangka – sangka oleh sebagian besar penonton.

Jejak Sixth Sense bisa tercium dalam beberapa film horor nasional. Lentera Merah (Hanung Bramantyo) juga mencoba pola serupa yang sayangnya tak berhasil. Mungkin karena cerita terlalu dipaksakan twist-nya, atau mungkin juga karena susah menandingi kehebatan Shyamalan memilin cerita. Dan harusnya Sixth Sense memang menjadi acuan utama bagi pembuat horor masa kini.

Padahal kita punya materi cerita yang jauh lebih kaya. Terlebih masyarakat kita yang sangat menyenangi hal – hal supranatural. Jika pandai mengeksplor, dan memotret segi – segi tertentu yang selama ini luput diangkat, plus dipadukan dengan keterampilan dalam membuat film, rasanya bukan tak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan mampu membuat film horor sebaik Sixth Sense. Anggap saja membuat film – film horor “busuk” terdahulu sebagai latihan, untuk di kemudian hari bisa menelurkan horor bermutu.

THE SIXTH SENSE

Director : M Night Shyamalan
Cast : Bruce Willis, Haley Joel Osment, Toni Collette
Script Writer : M Night Shyamalan

Tinggalkan komentar